Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dengan masalah kependudukan yang cukup serius, yakni jumlah penduduk yang sangat besar, pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan persebaran penduduk yang tidak merata. Jumlah penduduk yang besar tersebut merupakan sumber daya yang potensial bagi pembangunan nasional. Akan tetapi Harsoyo & Sulistyaningrum (2018) dalam jurnalnya yang berjudul Pengaruh Fertilitas terhadap Partisipasi Tenaga Kerja Perempuan menerangkan bahwa sering kali pertumbuhan penduduk yang pesat dan tidak diimbangi oleh penyediaan sarana prasarana yang memadai, dapat menjadi beban bagi pembangunan.
Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat mendorong perkembangan aspek-aspek kehidupan lainnya, meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya. Tentu saja hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi penduduk Indonesia untuk dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk usia kerja yang tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan, tentunya akan berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Olehnya itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya untuk dapat hidup secara layak dengan tujuan akhir mencapai kesejahteraan.
Sebagai konsekuensi dari komitmen Indonesia selaku anggota World Trade Organization (WTO) sejak 1995, Indonesia harus membuka pasarnya terhadap perdagangan barang dan jasa dari/ke negara anggota WTO lainnya. Indonesia tidak lagi dapat menutup diri dari masuknya barang dan jasa asing untuk diperdagangkan di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia harus bersedia untuk menjadi penjual jasa di luar negeri dan juga menjadi pasar perdagangan jasa dari luar negeri.
Dalam proses pembangunan di era globalisasi seperti saat ini, Indonesia tentunya harus mampu menarik sejumlah investor untuk dapat menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah juga dengan terbuka memberikan izin bagi Warga Negara Asing (WNA) untuk bekerja di Indonesia. Regulasi ini ditujukan untuk memenuhi dan memajukan pembangunan serta transfer teknologi. Dengan masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke dalam pasar tenaga kerja Indonesia ini menjadi tantangan baru bagi tenaga kerja lokal.
Proses masuknya penduduk negara lain ke dalam suatu negara untuk tujuan menetap disebut sebagai imigrasi. Menurut BPS, seseorang yang dianggap melakukan imigrasi adalah mereka yang telah tinggal di negara tujuan selama 6 bulan atau lebih, atau kurang dari enam bulan tetapi berniat menetap di negara tujuan. Para imigran ini berasal dari empat kategori, yakni penduduk yang lahir di luar negeri, WNA, migran kembali dan generasi kedua migran.
Data migrasi internasional di Indonesia bersumber dari survei/sensus berbasis rumah tangga hanya dapat diperoleh dari sensus penduduk dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS). Selain BPS, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) juga mengumpulkan data jumlah TKA.
TKA didefinisikan sebagai WNA pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Menurut data terakhir yang dipublikasikan, Kemnaker RI mencatat bahwa pada bulan Februari 2022 terdapat 93.849 orang TKA yang masih berada dan bekerja di Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 2,43 persen dibandingkan dengan keberadaan TKA pada Januari 2022 sebesar 91.623 orang. Jika dilihat berdasarkan jenis usaha, diketahui bahwa TKA yang bekerja di Indonesia sebagian besar bekerja di sekor jasa, yakni sebanyak 47.916 orang (51,92 persen), sementara di sektor industry sebanyak 41.470 orang (45,69 persen), dan di sektor pertanian dan maritim sebanyak 2.237 orang (2,39 persen).
Berdasarkan asal negara TKA tersebut, ada dua negara yang menempati posisi tertinggi dalam hal jumlah TKA yang bekerja di Indonesia, yakni Republik Rakyak Cina (RRC) sebanyak 41.864 orang (44,61 persen) di posisi pertama dan Jepang sebanyak 10.390 orang (11,07 persen) di posisi kedua. TKA lainnya berasal dari Amerika Serikat (2,07 persen), Australia (1,07 persen), India (6,44 persen), Inggris (1,82 persen), Korea Selatan (9,87 persen), Malaysia (3,87 persen), Philippina (4,78 persen), Singapura (1,26 persen) dan lain-lain (12,46 persen).
Jika dilihat menurut level jabatan, para TKA ini bertindak sebagai professional (45,67 persen), advisor/konsultan (22,91 persen), manager (21,12 persen), direksi (9,58 persen), dan komisaris (0,71 persen). Berdasarkan provinsi, Sulawesi Tengah menduduki posisi kedua tujuan TKA ini untuk bekerja, yakni sebesar 7,98 persen dengan posisi pertama diisi oleh DKI Jakarta (9,42 persen). Namun demikian, ada 38,22 persen TKA yang bekerja lintas provinsi di Indonesia.
Salah satu tujuan kedatangan TKA asal RRC tersebut ke Provinsi Sulawesi Tengah adalah bekerja di perusahaan tambang dan kawasan industri nikel yang terletak di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Morowali memiliki potensi sumber daya nikel yang besar sehingga dilirik oleh para investor untuk menanamkan modalnya dalam membangun industri berbasis nikel. Dengan menggandeng investor dari RRC, industri olahan nikel dibangun mulai tahun 2013. Kawasan ini berkembang dengan pesat hingga mampu merajai produksi nikel olahan di Indonesia.
Dengan semakin berkembangnya kawasan industri ini, tentunya membutuhkan lebih banyak lagi tenaga kerja, baik lokal maupun asing untuk dapat meningkatkan produktivitas. CEO PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menerangkan dalam cnbcindonesia.com pada 17 September 2021 bahwa kuantitas tenaga kerja lokal masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan TKA, di mana secara kuantitatif setiap enam orang TKA bekerja bersama dengan 100 tenaga kerja lokal. Dengan semakin bertambahnya jumlah tenaga kerja, tentu akan memberikan dampak bagi kehidupan masyrakat sekitar kawasan industri dan tambang. Dari sisi dampak negatifnya, pertambangan lebih sering dipahami sebagai aktifitas lebih banyak menimbulkan permasalahan dari pada manfaat, mulai dari mengganggu kesehatan, konflik perebutan lahan, terjadinya kerusakan lingkungan, hingga areal bekas pertambangan yang dibiarkan menganga. Di sisi lain, Fitriyanti (2016) dan Hakim (2015) dalam jurnal menyebutkan bahwa banyak manfaat dari kegiatan pertambangan, seperti membuka daerah terisolir, sumber pendapatan asli daerah, membuka lapangan pekerjaan hingga merupakan sumber devisa negara.
Nurul Solikha Nofiani, SST
Statistisi BPS Provinsi Sulawesi Tengah
Komentar