Palu Pilu Palu Luka Palu Berduka, Reflekasi Empat Tahun Mengenang Gempa Bumi Dahsyat

Oleh: Mochtar Marhum

Tidak terasa sudah empat tahun berlalu kisah duka dan pilu menyelimuti Kota Palu hingga kini mungkin masih terasa oleh warga Kota Palu dan sekitarnya.

Hari ini (kemarin) empat tahun lalu tepatnya tanggal 28 September 2018 ketika itu gempa dahsyat magnitudo 7,4 yang sempat meluluhlantahkan Kota Palu tercinta. Waktu itu jelang waktu memasuki Sholat Magrib.

Masyarakat berhamburan keluar rumah menyelamatkan dirinya masing-masing bersama keluarga dan tetangga. Ada yang berlari ke lapangan menghindari reruntuhan bangunan.

Ada yang berlari ke bukit di tempat ketinggian untuk mengindari gelombang tsunami dan ada pula yang berusaha lari tunggang langgang dan berlari terus menghindari lumpur dan lubang mengangah yang dalam dan siap menelan siapa saja yang berlari dan terjatuh di daerah yang terjadi fenomena tanah likuifaksi. Dan ada juga yang berlari menghindari jilatan api dari rumah yang terbakar.

Goncangan dahsyat itu juga menimbulkan bencana multi efek, yaitu tsunami, fenomena tanah likuifaksi di dua wilayah kelurahan Balaroa dan Petobo, serta memicu kebakaran sangat mengerikan di sejumlah rumah warga di Kelurahan Balaroa api menyala-nyala dan menjilat semua bangunan yang runtuh dan tertimbun lumpur.

Konon ketika terjadi gempa sebagian warga ada yang lagi menyalakan kompor gas untuk persiapan makan malam.

Gempa itu juga menimbulkan efek kerusakan yang hebat dan juga menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit di dua wilayah kabupaten tetangga terdekat yaitu Donggala dan Sigi.

Di Kabupaten Sigi juga terjadi fenomena tanah likuifaksi di dua tempat yaitu di Desa Jono oge dan Sibalaya.

Kejadian bencana itu dapat dijelaskan dari berbagai perspektif Ilmu dan Iman. Oleh pakar geologi dan fisika bumi menyebutkan bahwa gempa bumi bisa saja terjadi karena disebabkan, misalnya oleh pergerakan lempeng bumi (tectonic plate) dan aktivitas Sesar Palu Koro (Palu Koro Fault).

Baca: Empat Tahun Pascagempa Dahsyat di Wilayah Palu, Sigi, dan Donggala

Komentar