Perjuangan Politik, Resesi Demokrasi, dan Konflik Ekonomi

Suatu saat di pertengahan dekade kedua abad ke-21, politik dunia berubah secara dramatis. Periode dari awal 1970-an hingga pertengahan 2000-an menyaksikan apa yang disebut oleh Samuel Huntington sebagai gelombang ketiga demokratisasi karena jumlah negara yang dapat di kelompokan sebagai negara demokrasi meningkat dari sekitar 35 menjadi lebih dari 110 negara.

Pada periode ini, demokrasi liberal menjadi bentuk standar pemerintahan bagi sebagian besar negara di dunia, setidaknya dalam aspirasi, jika tidak dalam praktiknya.

Hal ini bersamaan dengan pergeseran dalam lembaga-lembaga politik. Munculnya pertumbuhan ketergantungan ekonomi di antara negara-negara atau yang kita sebut globalisasi saat ini.

Sepanjang periode abad ke-21, tingkat perdagangan dan investasi internasional melampaui pertumbuhan PDB global dan secara luas dipandang sebagai pendorong utama kemakmuran.

Antara tahun 1979 dan 2008, produksi barang jasa meningkat empat kali lipat dan pertumbuhan meluas ke hampir seluruh wilayah di dunia, sedangkan orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrim di negara-negara berkembang turun dari 42% dari total populasi pada tahun 1993 menjadi 17% pada 2011 kemarin.

Meskipun begitu, tatanan dunia liberal ini tidak menguntungkan semua orang. Sementara itu negara di dunia, khususnya di negara-negara demokrasi yang sudah cukup maju, ketimpangan meningkat tajam sedemikian rupa sehingga banyak manfaat pertumbuhan mengalir kegolongan elit yang di tentukan terutama oleh pendidikan.

Karena pertumbuhan berkaitan dengan volume barang, uang dan orang-orang yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain, ada sejumlah besar perubahan sosial yang distruptif.

Kelas menengah baru dalam jumlah besar muncul di negara-negara seperti Tiongkok dan India, tetapi pekerjaan yang mereka lakukan semata menggantikan pekerjaan yang telah dilakukan kelas menengah yang lebih tua di negara maju.

Pada pertengahan 2000-an, momentum tatanan menuju dunia yang semakin terbuka dan liberal mulai goyah, kemudian telah berbalik arah.

Seseorang ilmuan demokrasi pernah berpendapat, Larry Diamond, bahwa menandai tahun-tahun setelah krisis sebagai salah satu dari resesi demokrasi ketika jumlah keseluruhan negara demokrasi turun hampir di seluruh wilayah di dunia.

Sejumlah negara otoriter, dipimpin Tiongkok dan Rusia, menjadi jauh lebih percaya diri dan tegas : Tiongkok mulai mempromosikan model Tiongkok sebagai jalan menuju pembangunan dan kemakmuran yang jelas-jelas tidak demokrasi, sementara Rusia menyerang dekadensi liberal Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Sementara itu yang lebih mengejutkan dan mungkin jauh lebih signifikan adalah dua kejutan elektoral pada 2016 bahwa, referendum Inggris untuk keluar dari Uni Eropa dan terpilihnya Donald J. Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Dalam dua kasus tersebut, para pemilih risau dengan isu ekonomi, khususnys kelas pekerja yang kehilangan pekerjaan dan terkena dampak deindustrialisasi.

Namun yang tidak kalah penting adalah penolakan terhadap imigrasi besar-besaran, yang dianggap dapat merebut lapangan kerja bagi penduduk asli dan mengikis identitas budaya yang telah lama mapan.

Partai-partai anti imigran dan anti Uni Eropa memperoleh kekuatan di banyak negara maju lainnya, terutama Front Nasional di Prancis, Partai untuk Kebebasan di Belanda, Partai alternatif untuk Jerman, dan Partai Kebebasan di Australia. Tradisi panjang yang setidaknya bermula dari Karl Marx melihat perjuangan politik sebagai refleksi dari konflik ekonomi, yang secara esensial merupakan pertarungan untuk mendapatkan jatah keuntungan.

Tentu ini merupakan penggalan dari kisah pada 2010-an ketika globalisasi menghasilkan jumlah signifikan orang-orang yang tertinggal laju pertumbuhan umum di seluruh dunia. Sehingga banyak dari hal yang kita pahami sebagai motivasi ekonomi sebenarnya tidak mencerminkan keinginan langsung untuk memperoleh kekayaan dan sumber daya, tetapi menunjukan fakta bahwa uang dianggap sebagai penanda status dan bisa membeli rasa hormat.

Teori ekonomi modern dibangun berdasarkan asumsi bahwa manusia adalah individu rasional yang ingin memaksimalkan utilitas mereka yaitu kebutuhan materi dan politik adalah perpanjangan tangan untuk melakukan hal tersebut.

Meskipun begitu, jika ingin menafsirkan perilaku manusia di era kontemporer saat ini dengan baik, kita harus memperluas pemahaman mengenai motivasi manusia melampaui model ekonomi sederhana tersebut yang mendominasi diskursus kita saat ini.

Tidak ada yang membantah bahwa manusia mampu berperilaku rasional atau bahwa mereka adalah individu yang mementingkan diri sendiri dengan mencari sumber daya dan kekayaan lebih besar. Namun, psikologi manusia jauh lebih kompleks dibanding model ekonomi sederhana.

Sebelum dapat memahami politik identitas kontemporer, kita perlu melangkah mundur dan membangun pemahaman yang lebih dalam lagi, sehingga demokrasi kita tidak mudah untuk terjebak dalam mimpi buruk yang mengancam demokrasi, ekonomi dan stabilitas politik kita.

Dengan kata lain, pemerintah Indonesia harus lebih banyak berbenah diri dari kesalahan-kesalahan pada masa lalu, bukan malah memperkeru keadaan negara dengan disahkannya RUU KUHP di 6 desember 2022 kemarin.

Moh. Taufik Abdullah, S.E., M.E

Penggiat Demokrasi & Peneliti di Institut Kajian Keuangan Negara dan Kebijakan Publik (IK2NKP).

Komentar