gNews.co.id – Ada gejala ‘borong’ partai politik di Pilkada merupakan ciri arogansi politik yang hanya menginginkan kuasa tanpa berpikir proses berjalan secara demokratis dan fair.
Bukan sebuah kebetulan jika kandidat tertentu ingin proses Pilkada khususnya pemilihan gubernur dan wakil gubernur diikuti dua pasangan calon atau bahkan melawan kotak kosong alias hanya satu kandidat.
Hal seperti itu mungkin saja terjadi, sebab ada beberapa contoh kasus yang terjadi pada perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Sebut saja di Kota Solo yang diikuti peserta di Pilkada Serentak 2020, yaitu Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa dan Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo).
Gibran-Teguh yang diusung PDIP juga didukung sedikitnya delapan partai lain, seperti Partai Golkar, Gerindra, PAN, PSI, PKB, NasDem, Perindo, serta PPP, dan hanya yang PKS yang abstain.
Apakah pasangan Gibran-Teguh yang saat itu diusung 9 gerbong parpol disebut sebagai arogansi politik kekuasaan? Biarlah publik yang menilai.
Sementara Bajo mendaftar lewat jalur perseorangan. Jalan mereka dimuluskan oleh dukungan 38.831 warga yang bersedia menyumbangkan KTP sebagai syarat dari jalur independen.
Sedangkan fenomena pertama kali kandidat tunggal dalam Pilkada Indonesia terjadi di Pemilihan Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan pada 2018 silam.
Pasangan tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi yang diusung 10 parpol, yaitu Partai Golkar, NasDem, PKB, PKS, Gerindra, PPP, PAN, PDI Perjuangan, PBB, dan PKPI melawan kota kosong.
Yang paling mengejutkan publik adalah Pilwali tersebut dimenangkan oleh kota kosong.
Peristiwa seperti ini tentunya menjadi pelajaran atau bisa saja menampar wajah para pelaku politik yang ada di Indonesia.
Kemudian bergeser ke Pilgub Jawa Timur pada 2018 silam, juga diikuti dua Paslon Bacagub dan Bacawagub mendaftar, yaitu Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur Soekarno (Mbak Puti).
Pasangan Khofifah-Emil diusung koalisi Partai Demokrat (13 kursi), Partai Golkar (11 kursi), PPP (5 kursi), PAN (7 kursi), Partai Nasdem (4 kursi) dan Partai Hanura (2 kursi) serta didukung PKPI (non-parlemen).
Sementara pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno diusung oleh PDI Perjuangan (19 kursi), PKB (20 kursi), PKS (6 kursi), dan Partai Gerindra (13 kursi).
Sedangkan Pilgub di Jatim 2018 sedikit berbeda dengan situasi Pilgub di Sulteng tahun 2020. Pengalaman Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Tengah (Sulteng) tahun 2020 lalu, salah satu pasang Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Anwar Hafid-Sigit Purnomo (Pasha Ungu) Said gagal maju sebagai kandidat.
Di mana saat itu terjadi turbulensi politik dialami oleh pasangan Anwar-Sigit. Mereka tak bisa jadi kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur lantaran tidak cukup kursi untuk bisa diusung Partai Politik (Parpol) pada Pilgub Sulteng 2020.
Kala itu, digadang-gadang ada tiga kandidat yang akan berkompetisi secara politik di Sulteng, yakni pasangan Rusdy Mastura-Ma’mun Amir (Cudy-Ma’mun), kemudian Hidayat Lamakarate-Bartholumeus Tandigala, dan pasangan Anwar Hafid-Sigit Purnomo Said.
Baca: Pilgub Sulteng Waspada yang Doyan Beli Suara Rakyat tak Mampu Pimpin Daerah
Komentar