Namun, niat baik Mansur sama sekali tidak ia tunjukkan untuk menyelesaikan permasalahan ini secara baik-baik.
“Surat somasi pun telah kami layangkan kepada Mansur Latakka yang dialamatkan ke kantornya sekarang di Perusda Sulteng, tapi tidak ada juga tanggapan,” katanya.
Amerullah berharap, tuntutan kepada Mansur untuk membayar utang sebesar Rp210.000.000 (dua ratus sepuluh juta rupiah) segera ia penuhi.
Selain telah mendaftarkan gugatan perdata, Amerullah juga berprofesi sebagai advokat ini berencana melaporkan masalah ini ke polisi dengan delik aduan penipuan.
“Kami sudah ancang-ancang akan melaporkan juga masalah ini secara pidana di kepolisian,” ujar Amerullah.
Soal Utang Bagian Terpisah
Di bagian lain, Amerullah tidak membantah bahwa Mansur Latakka adalah rekan bisnisnya. Mereka pernah bekerjasama di bisnis pertambangan batu gajah.
Ia menceritakan bahwa awal mulanya Akbar Labosa selaku kuasa dari PT. Nabelo Sarro Kompu, memiliki kontrak jual beli batu gajah dengan Moh Fahrudin Yunus, yang berlokasi di Desa Tompe Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, sekitar bulan Juni 2023.
Kontrak itu ditawarkan Akbar Labosa (Kepala Desa Lambonga) kepada Amerullah. Selanjutnya, antara Amerullah dan Akbar Labosa membuat perjanjian yang disetujui Mansur Latakka pada tangggal 23 Juni 2023 bertempat di Hotel Palu City.
Dalam pelaksanaaan pekerjaan tersebut, Amerullah menyiapkan modal kerja. Sementara Akbar Labosa bertindak sebagai pelaksana/pengawas. Sedangkan Mansur Latakka sebagai pengawas yang diwakilkan kepada adiknya yang bernama Firman.
Namun, setelah pekerjaan tersebut baru berjalan sebulan, pekerjaan tiba-tiba terhenti. Ini akibat pihak pembeli batu gajah meminta RKAB tahun 2023.
Tapi tidak dapat ditunjukkan oleh PT. Nabelo Sarro Kompu sebagai perusahaan pelaksana. Karena ternyata IUP (izin usaha pertambangan) PT. Nabelo Sarro Kompu telah dibekukan oleh Kementerian Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang bisa dikroscek di Minerba One Data Indonesia (MODI).
“Pekerjaan ini juga rugi. Saya telah mengeluarkan biaya produksi sebesar Rp60 juta, sementara hasil produksinya menghasilkan Rp15 juta. Makanya tidak jalan lagi,” jelas Amerullah.
Komentar