Kemudian keberadaan lokasinya spot-spot, sehingga tidak ada yang dapat dijadikan dasar untuk penerbitan HGU.
“Hal ini sudah pernah kita lakukan pertemuan antara Dinas Perkebunan, Kepala kantor wilayah ATR/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulteng,npihak PT ANA yang dipimpin ketika itu Plh Sekda Muliyono untuk membicarakan rekomendasi soal usulan HGU PTANA,” katanya.
Haikal menejelaskan lahan kebun sawit PT ANA tidak memenuhi syarat untuk diberikan rekomendasi penerbitan HGU.
“Sehingga hasil rapat ketika itu meminta manajemen PT ANA menyelesaikan dulu persoalannya dengan masyarakat setempat,” tegas Haikal.
Menurut Haikal, awal pembukaan lahan sawit PT ANA sudah muncul sengketa lahan dengan masyarakat, karena SKPT yang dikeluarkan kepala desa tumpang tindih. Waktu itu PT ANA masih dalam wilayah Kabupaten Morowali dengan luasan kurang lebih 19.000 hektar.
Kata Haikal saat pemekaran kabupaten Morowali dengan Morowali Utara, lahan PT ANA diciutkan menjadi 7200 hektar. Dan masuk dalam wilayah Morowali Utara.
Namun masih terus berkonflik dengan warga dan lokasinya masih spot-spot. Ada yang kosong ditengah, itulah yang mereka ajukan untuk diberikan HGU. Dan dipersyaratkan 20 persen plasma dari kebun inti.
“Tapi pihak PT ANA tidak menyanggupinya, sehingga mereka siasati dengan koperasi,” ungkapnya.
Tahun 2018 Ombudsman perwakilan sulteng melakukan investigasi dan menemukan lahan PT ANA tumpang tindih dengan lahan transmigrasi dan lahan masyarakat yang bersertifikat.
Komentar