Bahkan, lanjut Agussalim, diperlukan penanganan bersama agar ada solusi dan jalan keluarnya, supaya ebu itu tidak terjadi di kehidupan masyarakat sekitar dan warga yang melintas.
“Tapi apa ada perusahaan mau? Terus apakah ada instansi berwenang turun tangan untuk antisipasi soal debu. Ini yang tidak terjadi,” ujar Agussalim.
Jika ada, kata Dia, harus dilakukan segera, jika tidak ada maka menjadi masalah utama dan rakyat menggugat.
Di LBH Sulteng sudah banyak masyarakat datang melaporkan soal debu di wilayah tersebut.
Sementara kampus dan aktivis NGO sama sekali tidak merespon, terutama NGO atau LSM lingkungan setidaknya hadir kampanye soal debu.
“Ini ada apa? Lalu sewaktu saya aktif di jaringan Walhi, apa saja yang terjadi soal lingkungan pasti kami advokasi dan aksi serta gugat ke pengadilan,” katanya.
Oleh sebab itu, sebut Agussalim, mestinya ini yang menjadi perjuangan bersama menyelamatkan ekologi lingkungan dan hak asasi atas kerusakan lingkungan.
Advokasi dan kampanye harus dilakukan secara partisipatif, jangan sendiri-sendiri. Libatkan masyarakat dan harus memiliki program bahwa Palu-Donggala harus bersih dari lingkungan yang berdebu.
NGO dan LSM, kalangan kampus serta jurnalis harus bersatu, jangan ekslusif memperjuangkan nilai kehidupan ekologi sosial atas Sumber Daya Alam (SDA).
“Kalau elit politik saya masih ragu, terlalu kuat bersinggungan dengan sindikasi modal dengan jaringan partisannya,” tegas Agussalim.
Komentar