Cuma satu jam saja. Tapi, saya merasa mendapat banyak hal yang sangat dalam. Selama ini, memang jarang.
By: Muhd Nur Sangadji
Sesekali mengunjungi rumah beliau. Dahulu sekali, sekitar dua puluh tahun lalu, pernah menjadi narasumber bersama beliau di Universitas Khairun, Ternate.
Senja kemarin, ada agenda pertemuan dengan beliau untuk isian rohani bagi calon anggota KPU. Tidak ada dalam agenda tahapan seleksi calon anggota KPU. Tapi, ini inisiatif kawan kawan team seleksi.
Tujuannya sederhana sekali. Agar, semua ikhlas menerima keputusan akhir sebagai ketentuan. Sebab, sudah jelas, hanya lima dari sepuluh yang dipilih.
Waktu memberikan pengantar kata, sebelum serahkan ke Habib. Saya mengulangi kisah yang terjadi pada salah satu calon ilmuan asal Venezuela untuk pesawat ulang Alik ruang angkasa, Kolombia.
Dalam seleksi itu, beliau berhasil menyisihkan ribuan calon hingga pada tahapan 9 besar. Masuk ke 7 besar, namanya tidak muncul. Di hari yang menentukan peluncuran pesawat tersebut.
Sang ilmuwan, menonton via televisi sambil menangis menyesal. Dia berkata dalam tangisannya.
“Seandainya lulus, maka saya ada dalam rombongan 7 peserta yang siap menembus vertikal ruang angkasa itu,”.
Beberapa detik pesawat meluncur kemudian meledak berkeping-keping. Seketika, tangisan kecewa berubah menjadi syukur bahagia.
Saya bilang, begitulah skenario yang Allah tetapkan untuk setiap individu. Kita wajib iktiar. Tapi, nasib itu datang menjemput takdir. Atau, takdir itu datang membentuk nasib.
*******
Lokasi kediaman Habib yang saat ini menjabat ketua PB Alkhairat dan Ketua MUI Sulawesi Tengah ini, tepatnys di sisi barat Kota Palu.
Dari sini, teluk Palu tertatap indah sekali. Di bukit ini kata Habib, dahulu kala adalah lahan Jeruk. Terkenal sekali dengan sebutan jeruk Palu. Agroklimatnya mendukung.
Memang, kota lembah ini adalah salah satu kota terpanas di Indonesia.
Untungnya bagi pertanian adalah curahan Surya bagi proses fotosintesis tanaman buah buahan.
Era tahun delapan puluhan, orang mengenal anggur Palu yang punya cita rasa sangat manis.
Sayang, jejak ekologis ini kurang ditunjang aktor petani yang gigih untuk menemukan kejayaan masa lalunya (glory of the past).
Di hamparan tanah berbukit ini, Habib membudidayakan berjenis tanaman dan memelihara sejumlah ternak.
Buka puasa bersama beliau petang ini membuktikannya. Ada buah anggur kecil yang sangat manis. Ada popaya. Ada rebusan pisang khas. Ada juga opor ayam dan lainnya.
Semua ini adalah produk lahan pekarangan beliau (backyard). Saya bertanya singkat. Bib, masih bisa makan daging merah..? Beliau beri kaidah langitnya.
“Makanlah semua yang halal, tapi jangan berlebihan,”.
*******
Saya dosen pertanian, tapi baru mendengar pikiran bertalian yang mengagumkan. Beliau bilang, coba bayangkan.
Kita hanya memberikan satu benih ke tanah. Tapi, tanah membalasnya berlipat lipat.
Artinya, kita memberi hanya sedikit, tapi balasan yang kita terima banyak sekali (the power of giving).
Kita percayakan tanah untuk memposes kehidupan mahluk bernama tumbuhan ini. Air, sinar matahari, mineral, gas dan mahluk lainnya bersinergi. Kita memetik hasilnya bernama buah, umbi, bunga dan daun. Tapi kita lupa, siapa sang arsitek di balik semua ini. Dialah Allah.
Dr Gani Djumat yang ada di samping kanan saya menambahkan. Q.S. Al Wakiyah, Allah menegaskan. “Dan kamu perhatikan benih yang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkan atau kami..?”. Pertanyaan oratoris yang sangat penting untuk direnungkan.
Habib bilang, satu faktor pembatas di real ini adalah air. Dia disuplai dari balik bukit. Secara artifisial, pengeboran sedalam 130 meter, juga memberikan hasil. Dan, dari air inilah kehidupan di bentuk. Habib melafadkan ayatnya. Dan, saya benar benar terkesima. “Wa ja’alna minal-ma-i kulla syai-in hayyi” (Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup) Q.S. Al-Anbiya, ayat 30.
Penulis adalah akademisi Universitas Tadulako Palu Pendidikan Kewarganegaraan, juga aktif di bidang Ekologi Manusia
Komentar