Itu, karena karakter alam yang secara ekologis tidak mengenal batas administrasi. Apalagi, kami tidak tahu. Pohon jeruk ini siapa yang tanam?
By: Muhd Nur Sangadji
Seorang ibu tergopoh-gopoh menemui saya sore kemarin. Katanya sudah lama beliau ingin bertemu.
Tujuannya sederhana sekali. Ingin khabarkan atau minta izin untuk halalkan buah jeruk yang telah dipanen beberapa bulan lalu oleh orang tuanya.
Saya tanya buah jeruk yang mana? Dia tunjukan satu pohon jeruk yang tumbuh di lahan kosong milik kami di kawasan kelurahan Tondo Palu. Letaknya, dekat pagar bersebelahan dengan halaman rumahnya.
Saya bilang, silahkan saja dipanen yaa. Padahal, saya tidak pernah tahu ada jeruk tumbuh di lahan tersebut.
Saya datangi pohon jeruknya. Dan ternyata benar, tumbuh di situ. Umurnya mungkin sudah sekitar tiga empat tahunan. Tapi, kami tidak pernah tahu. Juga, telah lupa apakah kami pernah menanamnya?
Memang, tidak terlihat karena jeruk itu tumbuh di sekitar pepohonan yang lain. Ada pohon kelor berbatang cukup besar. Ada juga lamtoro yang daunnya rimbun.
Terdapat pula tanaman epifit merambat mendominasi kanopi jeruk. Membuat, pohon jeruk itu makin tidak nampak sepintas.
*******
Saya terkagum pada perilaku Ibu tetangga ini karena tanggung jawab meminta izin atas sesuatu yang bukan miliknya.
Dia tambahkan. Kalau daun kelor, saya pernah minta izin, tapi tidak untuk jeruk. Woooow, saya mendapatkan pelajaran tentang pendidikan Anti Korupsi yang Sangat Kongkrit. Yaitu, dilarang mengabil sesuatu yang pemiliknya tidak tahu.
Ini karifan lokal kita. Di Bali bernama Awig-Awig. Di Maluku dikenal dengan istilah “Sasi”. Di tanah Kaili Sulteng ada sanksi adatnya. Bahkan, di negara semodern Jepang pun ada. Namanya, “bushido”. Intinya, jangan mencuri.
Ternyata, orang tuanya pernah memetik buah jeruk itu untuk dijadikan bibit. Katanya, jeruk ini unik. Mirip jeruk nipis yang biasa digunakan saat memasak.
Tapi yang ini, kulitnya halus yang baunya harum. Sore itu, saya panen beberapa buah. Malamnya saya bikin sambal. Benar, harum baunya. Orang tuanya juga bilang, jeruk jenis ini telah lama dicarinya.
Mungkin, jeruk yang diambil untuk tujuan pembuatan bibit itu, sekarang sudah tumbuh. Begitulah ibu ini bercerita.
Sungguh, saya sangat senang mendengarnya. Sebab itu berarti, kami telah ikut dalam proyek kebaikan.
Berbagi untuk kehidupan, bersedekah dengan tanaman. Bukankah, sedekah itu selalu dimisalkan pada tumbuhan? Satu biji tanaman yang dibenamkan ke dalam tanah. Tumbuh menjadi pohon bercabang-cabang.
Lalu, dari cabang-cabang tersebut, muncul berderet-deret buah. Demikianlah ilustrasi pahala kebaikan yang kita terima berlapis-lapis.
*******
Saya dekati pohon jeruknya dalam jarak lebih dekat. Nampak, ada di sebelah pagar pembatas dengan tetangga. Tumbuhnya kokoh, daunnya lebat. Beberapa ranting telah masuk ke halaman sebelah.
Pasti, akarnya juga telah menyeberang. Kalau begitu, tetangga ini berhak memanennya.
Mengapa? Sebab, cabang yang masuk ke halaman tetangga selain mengambil ruang dan sumber daya iklim berupa cahaya, air hujan, dan udara.
Juga, mengotori halaman dengan seresah yang jatuh menjadi sampah. Selain itu, akar tanaman jeruk yang menembus batas pagar. Sudah tentu, menyerap air dan mineral dari lahan sebelah.
Jadi, mestinya tanpa minta izin pun, Ibu tetangga ini berhak memanen buah jeruk yang tumbuh di lahan milik kami. Memang “de jure”, pohon itu milik kami. Karena tumbuh di halaman kami.
Tapi “de facto”, pohon jeruk itu juga milik tetangga kami. Itu, karena karakter alam yang secara ekologis tidak mengenal batas administrasi. Apalagi, kami tidak tahu. Pohon jeruk ini siapa yang tanam? Wallahu a’lam bi syawab.
Komentar