gNews.co.id – Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sulteng 2024 menjadi medan pertempuran politik yang menarik. Di mana ada tiga pasangan calon yang berkontestasi: nomor urut 1, pasangan Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri. Nomor 2 pasangan Anwar Hafid-Reny A. Lamadjido. Kemudian nomor urut 3, pasangan Rusdy Mastura-Sulaiman Agusto Hambuako.
By: Mahbub
Pada opini redaksi kali ini lebih membahas partai politik (parpol) beserta kader partainya yang berkoalisi mendukung dan mengusung pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri.
Pasangan calon dengan tagline BERAMAL (Bersama Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri) ini diusung dan didukung oleh koalisi besar sepuluh partai politik: Partai NasDem, Gerindra, PKB, Golkar, PAN, Perindo, PPP, PSI, PRIMA, dan PKN. Namun, di balik soliditas koalisi tersebut, muncul dinamika yang menggambarkan kontras antara kader militan dan oknum “penyamun partai.”
Penyamun di Tengah Barisan
Istilah “penyamun partai” muncul untuk menggambarkan oknum kader yang terang-terangan mendukung pasangan lain, meski partainya telah mengambil sikap tegas mendukung Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri.
Tindakan ini bukan hanya mencoreng kredibilitas partai, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap integritas politik koalisi tersebut.
Ketidakpatuhan ini menjadi tamparan keras bagi para ketua partai yang telah bersusah payah membangun konsensus politik.
Ketika keputusan partai diabaikan oleh kadernya sendiri, pertanyaan tentang loyalitas dan dedikasi kader kepada partai mencuat. Mereka yang tidak tunduk pada garis kebijakan partai tak layak disebut kader sejati.
Tak hanya kader atau anggota partai biasa, bahkan rumor yang berkembang bahwa ada elit partai secara diam-diam maupun terangan-terangan mendukung kandidat lain dan terkesan menolak pasangan BERAMAL sebagai kandidat pemimpin Sulteng ke depan.
Beragam alasan mereka mendukung kandidat lain, mulai dari alasan karena kedekatan secara emosional sampai sentimen dan subyektifitas mereka terhadap Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri.
Selain itu, kuat dugaan, mengapa elit-elit tersebut tak mendukung Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri? Karena egosentris, klaim kewilayahan, serta sentimen rasisme.
Orang-orang seperti ini cenderung merasa wilayah Sulteng yang cukup luas ini adalah milik komunitas tertentu sehingga tak boleh ada pihak lain yang memimpin daerah ini.
Pemikiran-pemikiran politik primordial tersebut bukan sebuah kemajuan dalam berdemokrasi, melainkan kemunduran. Sebab Sulteng ini memilih pemimpin secara demokratis yang telah diatur dalam undang-undang, bukan memilih ketua komunitas atau kepala suku.
Kembali kepada kader dan elit partai yang tak sejalan dengan keputusan partai, maka mereka lebih cocok disebut penyamun partai, lantaran oknum yang hanya mengambil keuntungan dari nama besar partai tanpa memberikan kontribusi nyata pada perjuangan kolektif.
Kader Militan: Pilar Utama Koalisi
Di sisi lain, ada kader militan yang menjadi penjaga utama kehormatan partai. Mereka berdiri teguh di bawah panji koalisi dan bekerja keras memastikan kemenangan pasangan BERAMAL.
Salah satu contoh partai yang menunjukkan ketegasan adalah Gerindra, yang memiliki Abdul Karim Aljufri sebagai sekretaris DPD Gerindra Sulteng dan juga Cawagub mendampingi Ahmad Ali sebagai Cagub.
Ketua DPD Partai Gerindra Sulteng, Longki Djanggola secara terbuka di berbagai kesempatan memperingatkan kadernya agar tidak bermain mata dengan pasangan lain.
Longki menegaskan bahwa jika ada kader yang mbalelo akan menghadapi sanksi berat, termasuk pencabutan keanggotaan.
Dalam pernyataannya, Longki menyebut kader yang tidak mendukung pasangan BERAMAL sebagai “kader plastik,” istilah yang mencerminkan betapa rendahnya penghormatan terhadap oknum yang mengkhianati keputusan partai.
Lalu, pertanyaan kemudian muncul, adakah pimpinan partai koalisi BERAMAL secara tegas akan memberi sanksi kepada kadernya yang ketahuan mendukung kandidat lain, seperti yang dilakukan Longki Djanggola? Biarkan publik yang menjawab.
Soliditas dan Tantangan atau Penyamun di Koalisi
Keberhasilan koalisi sepuluh partai dalam pemenangan Pilgub Sulteng bergantung pada soliditas dan komitmen seluruh elemen pendukung.
Ketua-ketua partai memiliki tugas berat dan mempunyai tanggung jawab besar untuk memastikan kadernya berada di jalur yang benar. Upaya ini harus dibarengi dengan penguatan komunikasi dan konsolidasi politik hingga ke tingkat akar rumput.
Ahmad Ali dan Abdul Karim Aljufri membawa visi besar untuk Sulteng melalui program-program unggulan yang pro-rakyat.
Namun, keberhasilan mereka tidak hanya ditentukan oleh kekuatan visi tersebut, tetapi juga oleh bagaimana koalisi ini mampu menegakkan disiplin partai dan memadamkan api penyimpangan kader.
Tak hanya di partai penyamun bersemayam, bisa jadi penyamun-penyamun ini juga berada di barisan koalisi non partisan yang hanya menyenangkan kandidat serta mengais keuntungan dari ajang kontestasi Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sulteng.
Politik Tanpa Pengkhianatan
Pilkada adalah ujian nyata bagi loyalitas dan integritas kader partai. Mereka yang mendukung pasangan BERAMAL dengan tulus adalah pahlawan koalisi, sedangkan mereka yang menyimpang adalah beban yang harus disingkirkan.
Sebab, di dunia politik, pengkhianatan hanya melahirkan ketidakpercayaan, baik di internal partai maupun di mata rakyat.
Sulteng membutuhkan pemimpin yang didukung oleh barisan koalisi yang solid dan bersih dari penyamun politik.
Ke depan, semoga partai-partai pengusung pasangan Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri mampu menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar koalisi besar, tetapi juga koalisi yang kuat, bersatu, dan bermartabat.
Penulis adalah Wapimpred gNews.co.id dan mempunyai kompetensi sebagai wartawan utama
Komentar