KAMPUS YANG DIRINDUKAN! Unforgettable Memories in My Live

Inilah kampus yang dirindukan. Sebenarnya bagiku, jumlahnya ada empat. Dua di tanah air dan dua lagi di luar negeri. Tadulako Palu, Jean Moulin Lyon-France, Monash Melbourne-Aussi, dan IPB Bogor. Akan tetapi yang terakhir ini, agak panjang dan unik ceritanya.

By: Muhd Nur SANGADJI

Sewaktu masih di SMP Islam  Ternate, saya telah tertarik untuk kuliah di IPB. Itu, lantaran menonton TVRI yang masih berwarna hitam putih.

Ada tayangan penyuluh pertanian membimbing petani di sawah. Saya merasa sangat heroik dan mulia.

Semenjak itu, ku  tancapkan semangat  dalam cita-cita, menjadi bagian dari pertanian. IPB menjadi tujuan.

Dan kini, saya selalu bilang kepada mahasiswa ku di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.

We have to be proud for being agriculturer, because we feed the people’s (kita harus bangga menjadi orang Pertanian karena kitalah yang memberi makan orang).

Nilai Merah di SMA Negeri Satu Ternate

Dahulu, di SMA Negeri satu Ternate, ada penjaringan murid berprestasi. Senior ku yang kakak kelas, diterima di ITB dan IPB.. Satunya bernama Muslim Arbi. Satunya lagi Mohammad Iqbal.

Tahun berikutnya, saya tak ikut seleksi karena nilai di kelas 2 tidak memenuhi syarat. Bahasa Inggris ku bernilai 4. Tertulis di raport dengan tinta merah. Abadi hingga kini.

Meskipun akhirnya, saya lulus SMA dengan nilai tertinggi sebagai juara umum, kesempatan itu sudah tertutup.

Karena, sistem seleksi tidak memakai nilai kelas 3.  Paman ku, Hasan Sangadji  memanggil ke Palu. Tapi, Tahun 1981, saat masih di kelas 2 SMA itu, Bapak ku Wafat.

Lulus SMA tahun 1982, saya melamar ke Ambon untuk crash program. Pendidikan satu tahun untuk menjadi penyuluh pertanian. Namun, kabar tidak pernah datang.

Hingga akhirnya, saya diterima di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Semester satu berjalan. Tiba-tiba, muncul kabar dari Ambon. Lamaran ku diterima. Tapi, saya putuskan untuk tetap kuliah di Palu.

Di sini, di Universitas Tadulako inilah, saya ditempa oleh guru-guru hebat. Jumlah mereka kurang dari 10 orang.

Namun, semangatnya melampaui jumlahnya, dengan keterbatasan sebagai universitas yang baru berusia satu tahun penegriannya.

Kuliah kami ada di mana-mana

Kampusnya ada empat. Yang terakhir itu adalah alam terbuka. Jauh sebelum ada kampus merdeka.

Hampir tiap akhir pekan, kami datangi  desa. Tidurnya di tenda, terkadang di pinggir sungai, di tepi danau, atau di tengah hutan.

Saya yang kala itu telah dipercayakan oleh teman sebagai ketua senat, mencetuskan semboyan dan identitas We are excellent in the Field .

Lepas kuliah, saya balik mengabdi di kampus Universitas Tadulako. Setelah sebelumnya, ikut membangun kebun kelapa sawit pertama di Sulawesi Tengah.

Lantas, berkesempatan ambil S2 di Universite Jean Moulin, Lyon 3 France. Saya memilih ekologi manusia (l’homme et nature).

Sekembalinya ke tanah air saya tergoda terlibat di berbagai lembaga Internasional. Ada gtz Jerman, ada Uce Cepi Canada, ada JICA Jepang, ada UNDP, dan lain-lain. Tergoda sampai lupa sekolah lagi.

Diterima di IPB

Tahun 2005, saya diterima di IPB, di Fakultas Ekologi Manusia. Sebelumnya sempat melamar ke Universitas Malaysia.

Seperti kejadian lamaran di Ambon. Kabar dari Malaysia tidak kunjung datang. Saat itu ada sengketa pulau antara dua negeri serumpun ini.

Tapi, ketika semester berjalan, datanglah berita dari University of Malaysia. Namun, saya memilih tetap di IPB. Lantaran saya menemukan guru-guru kawakan.

Mereka para orang tua yang tidak cuma ajarkan ilmu, tapi juga kebijaksanaan. Mereka luar biasa. Hingga kini, saya tetap menjunjung nama dan nilai yang mereka ajarkan.

‘Bagi ku, guru adalah tetap guru. Mereka tidak pernah berubah menjadi bekas guru. Sampai kapan pun’

Semasa kuliah di IPB, saya menulis tiga seri buku. Judulnya satu, ‘Memburu ilmu di kampus ninja’. Mengapa begitu judulnya? Jawabannya ada di buku-buku itu.

Pose di depan Gedung IPB Baranangsiang
Muhd Nur Sangadji pose di depan Gedung IPB

Saat ini, saya ada di sini. Mengambil foto diri, persis di depan Gedung IPB Baranangsiang. Tempat ini, dahulu kala adalah hamparan ladang.

Di tempat ini pula, Presiden Sukarno berpidato, saat peletakan batu pertama Fakulteit Pertanian yang sekarang bernama IPB University.

Beliau berkata, ‘Pangan adalah soal hidup mati bangsa Indonesia’.

Hari ini, Rabu, 13 September 2023, saya   membawa makala pada seminar nasional, di kampus IPB.

Penyelenggaranya, Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan Indonesia (PAPPI).

Baru sekarang, saya sadar, terjawab sudah cita-cita ku sejak SMP, hampir lima puluh tahun silam.

Allah baharu mengabulkannya di akhir jenjang, pendidikan strata tiga, di IPB University. Dalam bidang dan kampus yang dirindukan sejak Sekolah Menengah Pertama, hampir setengah abad silam. Barakallah.

Baca: Kebun Raya! Buitenzorg: Tidak Perlu Khawatir

Artikel ini sudah tayang di akun Facebook Muhd Nur Sangadji

Penulis adalah akademisi di Universitas Tadulako Palu

Komentar