Kematian Janin dan Fertilitas: Hubungannya Apa?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fertilitas didefinisikan sebagai kemampuan menghasilkan keturunan, berhubungan dengan kesuburan. Jumlah penduduk yang besar dan berkualitas akan menjadi aset yang bermanfaat bagi pembangunan. Sebaliknya, penduduk yang besar dan rendah kualitasnya akan menjadi beban pembangunan. Todaro dan Smith (2004) dalam bukunya menjelaskan bahwa jumlah penduduk yang besar dan tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang baik akan menyebabkan sumber daya lainnya akan lebih terserap untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi. Lucas dan Meyer (1994) dalam bukunya yang berjudul “Beginning Population Studies” menerangkan bahwa apabila tingkat fertilitas tinggi dan diimbangi dengan rendahnya tingkat kematian, maka hal ini akan menyebabkan jumlah penduduk yang semakin besar.

Oktavia, dkk (2014) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran mortalitas, karena seorang perempuan hanya meninggal satu kali, tetapi ia dapat melahirkan lebih dari seorang bayi. Di samping itu, seorang yang meninggal pada hari dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu orang tersebut tidak mempunyai resiko kematian lagi. Sebaliknya, seorang perempuan yang telah melahirkan seorang anak tidak berarti mengalami resiko melahirkan dari perempuan tersebut menurun. Kompleksnya pengukuran fertilitas karena melibatkan dua orang (suami dan istri), sedangkan kematian hanya melibatkan satu orang saja yang meninggal.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, industrialisasi dan pola hidup yang lebih modern, kehadiran anak dianggap krusial terkait dengan opportunity cost menurut Becker (1960) dalam bukunya yang berjudul “An Economic Analysis of Fertility”. Sebuah keluarga akan mempertimbangkan biaya dan manfaat untuk memutuskan jumlah anak yang akan dimiliki. Jumlah anak yang semakin banyak tentunya memerlukan biaya yang banyak pula.

WHO (2006) dalam rilisnya mengemukakan bahwa setiap tahun lebih dari 4 juta bayi meninggal dalam empat minggu pertama kehidupan, di mana 3 juta dari kematian ini terjadi pada periode neonatal dini. Selain itu, diperkirakan lebih dari 3,3 juta bayi lahir mati setiap tahun, di mana satu dari tiga kematian ini terjadi selama persalinan. Tidak hanya itu, 98 persen kematian ini terjadi di negara berkembang. Di negara berkembang, risiko kematian pada periode neonatal enam kali lebih besar dibandingkan di negara maju, sedangkan di negara-negara kurang berkembang itu lebih dari delapan kali lebih tinggi. Di seluruh dunia, ada lebih dari 6,3 juta kematian perinatal (kematian janin pada usia kehamilan 28 minggu atau lebih dan kematian bayi pada 7 hari pertama kehidupan) per tahun, hampir semuanya yang terjadi di negara berkembang, dan 27 persen di antaranya di negara kurang berkembang saja.

Berdasarkan Laporan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 disebutkan bahwa jarak antar kelahiran yang pendek (kurang dari 24 bulan) akan berdampak negatif terhadap bayi dan ibu, antara lain kelahiran prematur, berat lahir rendah, dan kematian. Melahirkan pada usia muda meningkatkan risiko komplikasi selama kehamilan dan melahirkan serta kematian neonatal (kematian pada bulan pertama setelah lahir (0-28 hari). Peluang anak meninggal akan lebih tinggi pada anak yang dilahirkan oleh ibu yang berumur terlalu muda atau terlalu tua, dilahirkan dengan jarak antar kelahiran yang pendek, atau dilahirkan oleh ibu dengan paritas yang tinggi.

Laporan SDKI 2017 menyajikan tentang gangguan atau komplikasi kehamilan yang dialami oleh wanita 15-49 tahun yang memiliki kelahiran hidup terakhir dalam 5 tahun sebelum survei. Delapan dari sepuluh (81 persen) wanita tidak mengalami komplikasi selama hamil. Di antara wanita yang mengalami komplikasi kehamilan, 5 persen mengalami perdarahan berlebihan, masing-masing 3 persen mengalami muntah terus menerus dan bengkak kaki, tangan dan wajah atau sakit kepala yang disertai kejang, serta masing-masing 2 persen mengalami mulas sebelum 9 bulan dan ketuban pecah dini. Delapan persen wanita mengalami keluhan kehamilan lainnya, di antaranya demam tinggi, kejang dan pingsan, anemia serta hipertensi.

Freedman (1979) dalam jurnalnya yang berjudul “Theories of Fertility Decline: A Reappraisal” menyebutkan bahwa penurunan angka kematian menyebabkan turunnya angka fertilitas. Tingkat fertilitas sebagiannya ditentukan oleh karakteristik latar belakang, seperti persepsi nilai anak, agama, kondisi pemukiman, pendidikan, status kerja, umur kawin pertama, pendapatan, kematian bayi/anak menurut Easterlin (1975) dalam jurnalnya. Tingkat kesehatan suatu bangsa dapat dilihat dari angka kematian (mortalitas). Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur derajat kesehatan suatu bangsa, dan juga sebagai indikator kualitas sumber daya manusia dari aspek Kesehatan.

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1981) menjelaskan bahwa kematian bayi dapat dihubungkan dengan reproduksi seseorang. Jika kematian bayi perempuan berkurang berarti mereka yang akan memasuki usia reproduksi semakin bertambah, akibatnya ada kecenderungan angka kelahiran (fertilitas) bertambah. Lebih lanjut Oktavia, dkk (2014) menjelaskan bahwa apabila seorang wanita mempunyai bayi/anak yang meninggal, maka ia akan berusaha untuk menggantikan anaknya yang meninggal. Artinya besar kemungkinan wanita akan hamil dan melahirkan kembali agar dapat menggantikan bayi/anaknya yang meninggal tersebut.

Hasil penelitian Arsyad dan Nurhayati (2016) menunjukkan bahwa terdapat dua puluh empat variabel memiliki hubungan yang bermakna terhadap anak lahir hidup, dan sebelas di antaranya merupakan variabel yang kuat pengaruhnya terhadap anak lahir hidup. Variabel yang paling kuat pengaruhnya terhadap anak lahir hidup adalah kematian anak. Hasil penelitian Jatmiko dan Wahyuni (2019) menggunakan data SDKI 2017 juga menunjukkan bahwa perempuan Indonesia dengan riwayat jumlah anak yang meninggal lebih banyak memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mempunyai anak lebih dari dua.

Hal ini diperkuat dengan temuan Palloni dan Rafalimanana (1997) bahwa ada tiga mekanisme yang menggambarkan hubungan antara kematian bayi dan kelahiran, yakni:

  1. Kematian bayi secara langsung akan berpengaruh terhadap kesuburan ibunya karena tidak lagi menyusui bayinya yang terkait dengan aspek psikologis ibu dengan peran air susu terhadap kontrasepsi;
  2. Psikologi keluarga yang jika mengalami kematian bayi/anak akan ingin cepat menggantikannya dengan hamil dan melahirkan lagi; dan
  3. Paham anak sebagai “tabungan” bila secara tiba-tiba terjadi kematian salah satu dari bayi yang dimilikinya. Dalam hal ini sepasang suami istri cenderung akan memiliki anak banyak untuk cadangan apabila tiba-tiba kematian terjadi di luar perkiraan.

Dengan demikian, diperlukan upaya untuk mengurangi kematian janin dari pasangan usia subur, baik perempuan maupun laki-laki dan pemerintah sebagai penentu kebijakan agar mampu mengendalikan tingkat kelahiran sehingga nantinya tidak menjadi beban pembangunan di masa mendatang.

Nurul Solikha Nofiani, SST

Statistisi BPS Provinsi Sulawesi Tengah

Komentar