Dalam publikasinya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka persentase Pasangan Usia Subur (PUS) umur 15-49 tahun yang sedang menggunakan alat KB atau cara tradisional untuk menunda atau mencegah kehamilan di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 55,06 persen. Angka ini masih sangat jauh dengan target yang ingin dicapai Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Di samping itu, angka ini juga mengalami fluktuasi sejak tahun 2000.
Pada awal tahun 2000-an terlihat pertumbuhan pengguna KB yang cukup pesat, yakni sekitar 3,14 persen pada tahun 2002, dengan pertumbuhan tertinggi berada pada tahun 2009, yakni sebesar 7,08 persen. Namun, seiring berjalannya waktu, data di lapangan justru menunjukkan perlambatan pertumbuhan pengguna KB ini selama 2 dekade ini, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,09 persen per tahun. Bahkan, pengguna KB di tahun 2021 ini tidak jauh berbeda dengan tahun 2000, yakni 54,35 persen (2000) dan 55,06 persen (2021).
Jika dilihat menurut provinsi, terdapat 15 provinsi dengan persentase di atas level nasional, di mana provinsi Kalimantan Selatan berada di posisi tertinggi, yakni sebesar 68,54 persen. Sedangkan provinsi Papua menduduki posisi terbawah dengan persentase sebesar 20,46 persen. Jika merujuk pada target BKKBN pada tahun 2024, hanya 3 provinsi yang telah mencapai target tersebut, yakni Kalimantan Selatan (68,54 persen), Kepulauan Bangka Belitung (65,07 persen), dan Lampung (63,82 persen).
Selanjutnya, bahwa persentase tertinggi PUS umur 15-49 tahun yang sedang menggunakan alat KB atau cara tradisional untuk menunda atau mencegah kehamilan di Indonesia pada mereka ang tinggal di perdesaan, berusia 35-39 tahun, berpendidikan dasar (SD/sederajat), dan berstatus ekonomi rendah (kuintil pertama). Jika dilihat lebih jauh, rata-rata pengeluaran pengeluaran alat/cara KB per kapita penduduk sebulan adalah 1.079 rupiah pada tahun 2021, meningkat dari tahun 2019 sebesar 929 rupiah dan 1.000 rupiah pada tahun 2020.
Jika dilihat dari status penggunaan, data BPS menunjukkan bahwa terdapat sekitar 34,69 persen perempuan berumur 15-49 tahun yang pernah kawin tidak/belum pernah menggunakan alat KB atau cara tradisional dalam menunda atau mencegah kehamilan pada tahun 2021, di mana 37,72 persen di daerah perkotaan dan 30,89 persen di daerah perdesaan.
Dari seluruh peremuan usia subur yang sedang menggunakan KB, terdapat 98,54 persen perempuan usia subur yang tinggl di perdesaan menggunakan alat KB modern, seperti tubektomi, vasektomi, IUD, suntik, susuk KB/implan, pil, kondom pria, danintravag/kondom wanita/diafragma. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan usia subur di perkotaan yang hanya 96,85 persen.
Jika dilihat dari jenis alat/cara KB yang digunakan, perempuan usia subur di Indonesia lebih banyak menggunakan suntik KB (55,06 persen), pil KB (19,37 persen) dan implan/susuk KB (9,06 persen). Di samping, mereka juga lebih banyak memperoleh alat KB modern tersebut di praktik bidan/bidan desa/perawat (48,10 persen), puskesmas/pustu/klinik (17,20 persen) dan apotek/toko obat (12,39 persen).
Mayoritas dari perempuan usia subur tersebut tidak menggunakan alat/cara KB adalah alasan lainnya (47,36 persen), yakni responden menjawab sedang hamil, kurangnya akses/tempat terlalu jauh, biaya terlalu mahal, dan lain-lain. Selain itu, 29,67 persen responden menjawab dengan alasan fertilitas, yakni ingin punya anak, jarang/puasa “kumpul”, menopause/histerektomi, tidak subur/mandul, ingin anak sebanyak mungkin, atau kepercayaan/ tradisi/kebiasaan. Sedangkan 15,93 persen responden mengaku takut efek samping dari alat/cara KB.
Gafar, dkk (2020) melalui penelitiannya di Indonesia menggunakan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 menyatakan bahwa umur, jumlah anak yang masih hidup, tingkat pendidikan, status ekonomi dan akses ke informasi dapat memengaruhi penggunaan kontrasepsi. Dengan menggunakan data SDKI 2012, Triyanto & Indriani (2018) dalam penelitiannya menemukan bahwa umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pelayanan KB dan daerah tempat tinggal berpengaruh terhadap penggunaan MKJP pada wanita menikah usia subur di Jawa Timur.
Berdasarkan hasil penelitian Weni, dkk (2019) di Puskesmas Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan ditemukan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan kontrasepsi jangka panjang adalah umur, pendidikan dan jumlah anak. Variabel umur berpengaruh paling dominan dalam pemilihan kontrasepsi jangka panjang. Kecenderungan akseptor yang berumur ≥ 35 tahun, berpendidikan rendah dan memiliki > 2 anak akan lebih besar untuk memilih metode kontrasepsi jangka panjang.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Febria (2018) di Sumatera Selatan dengan menggunakan SDKI 2012 menunjukkan bahwa variabel jumlah anak dan usia suami berpengaruh signifikan terhadap partisipasi KB pada keluarga pra sejahtera, sementara variabel lain, yakni usia istri, pendidikan istri, partisipasi istri dalam bekerja, tempat tinggal, ukuran keluarga ideal, komunikasi suami istri, dan kunjungan petugas KB tidak secara signifikan menentukan tingkat partisipasi KB seorang istri. Penelitian Putriningrum (2012) di Bidan Praktik Swasta Ruvina, Surakarta, Jawa Tengah pada tahun 2010 menunjukkan bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, faktor pendidikan, faktor jumlah anak dan faktor peran suami berpengaruh terhadap pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik, sedangkan faktor pekerjaan dan motivasi bidan tidak berpengarih signifikan.
Nurma (2021) dalam jurnalnya menjelaskan faktor penyebab partisipasi penggunaan kontrasepsi selama masa pandemi Covid-19 di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi adalah pengetahuan, dukungan suami, dan dukungan tenaga kesehatan. Hasil analisis bivariat yang dilakukan oleh Najah (2021) menggunakan uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan, status ekonomi, tempat tinggal, keterpaparan informasi KB, pengetahuan, jaminan kesehatan dan dukungan istri dengan partisipasi pasangan suami istri dalam melahirkan. usia sebagai akseptor KB di Indonesia pada tahun 2017. Penelitian lain di Kecamatan Peudawa, Kabupaten Aceh Timur, Aceh yang dilakukan oleh Husna dan Nababan (2022) menunjukkan bahwa ada hubungan sosial budaya, dukungan keluarga, pengetahuan, dan ekonomi dengan keikutsertaan PUS dalam program KB, sedangkan pendidikan tidak berpengaruh signifikan.
Dengan demikian, BKKBN sebagai salah satu pemangku kebijakan yang menangani program KB ini mampu meningkatkan pengguna KB berdasarkan data dan seluruh faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan kontrasepsi. Sehingga pengendalian tingkat kelahiran dapat tercapai dan menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
Nurul Solikha Nofiani, SST
Statistisi BPS Provinsi Sulawesi Tengah
Komentar